Selasa, 16 Desember 2014

Hamparan Emas, Dibalik Kediaman Blora


HAMPARAN EMAS, DIBALIK KEDIAMAN BLORA

(Oleh Nina Indriyanti Ratnasari)



Dalam bumi ini terdapat berbagai macam karunia pemberian Tuhan yang masing - masing tersekat dalam ruang tertentu. Walaupun begitu, bisa saja kalau semuanya nampak pada waktu yang tepat sama, walau sifatnya berlawanan.

Pagi itu di taman, kunikmati wewangian bunga di awal musim penghujan yang datangnya sedikit terlambat. Selain bunga-bunga taman, kuhirup pula aroma bunga penghuni hatiku. Bunga Idaman. Indahnya memang tidak lebih indah dari rekahan bunga mawar, tapi cukuplah sebagai pesaingnya. Sejurus saja kuarahkan pandanganku kepadanya dan mengacuhkan bunga-bunga yang masih terlelap di dalam buaian embun. Memang hari masih terlelap didalam buaian embun. Memang hari masih terlalu pagi untuk mengucapkan “hello” pada sinar terang pusat tata surya. Yang bisa disapa saat itu barulah langit yang mulai berkondensasi membentuk gumpalan – gumpalan yang membumbung tinggi menghias angkasa. Serta  ayam – ayam yang begitu rajin menjadi alarm bagi para majikannya.

Langit masih tidur, masih tersisa selimut putih bekas bulan bertengger tadi malam. Taman ini memang serbaguna, selain ada yang olahraga pagi, sekadar bercengkrama, dan hanya lewat lalu, ada juga yang memanfatkan latar taman sebagai tempat berniaga. Lalu pagi itu memang merupakan kesengajaan yang sama sekali tidak ku sengaja. Alun – alun Blora ramai sejak diberlakukannya car free day setiap hari Minggu.

Usai membeli sarapan nasi bungkus di pinggiran alun – alun Blora, langkahku terhenti pada sebuah baliho besar yang berdiri tegap mempresentasikan kekayaan di bumi Blora. “Umi.. ini gambar apa?” tanyaku pada umi karena terkagum kagum dengan gambar yang ada di Baliho tersebut. “Ini penggambaran wilayah Blora anakku” Umiku menjelaskan. Aku masih terheran heran dengan Blora, selama 15 tahun tinggal di Blora, tak pernah sedikit pun memiliki rasa untuk bisa mengenali Blora, apalagi bisa mengunjungi tempat – tempat dahsyat yang Blora miliki. “Umi..ternyata Blora itu sangat kaya sekali dengan Sumber Daya Alam dan kebudayaanya ya” ucapku yang sampai saat ini masih menekan rasa ingin tahuku. “Banyak misteri tentang Blora yang belum kamu ketahui nak, banyak sekali hal-hal menakjubkan yang tentunya belum pernah kamu tahu bahkan tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiranmu” umiku menjelaskan dengan lembut sembari berjalan santai pagi itu.

Aku menjadi penasaran dengan apa yang dimiliki Blora. Paling-paling mayoritas anak sesuiaku hanya sekedar tau sebagian kecil atau bahkan tidak tau sama sekali tentang Blora, sedangkan anak manja sepertiku ini lebih suka melancong di kota orang daripada berfikir untuk berkeliling di kotanya sendiri, Kota Blora, Kota Barongan.

Sesampainya di rumah, suara kicauan burung milik ayah terdengar sangat merdu menyapa kami yang keasyikan mengobrol. “Pagi Pagi Semua, Assalamu’alaikum” Sapa burung Beo milik ayah. Aku hanya tertawa kecil ketika melihat tingkah burung Beo yang selalu meramaikan rumahku yang sepi ini. Maklum saja jika seperti itu, kami hanya keluarga kecil yang terdiri hanya aku, ummi dan ayah. Yang keduanya sibuk dengan urusannya masing masing hanya sesekali saja ketika libur seperti ini akau merasakan hangatnya keluarga.

Terlihat dari ufuk barat matahari mulai tak menampakkan sinarnya, senja terasa begitu indah pada sore itu, hari ini merupakan hari yang berarti dalam hidupku, hari ini aku dilahirkan, di ulang tahun yang ke-16 ini, aku mengajukan suatu permintaan pada ayah.  “Ayah,  bolehkah aku meminta Sesuatu Yah? pintaku lirih. “Tentu saja anakku sayang, ayah pasti menurutinya” ayahku menyahut cepat.  “Ayah ajak aku untuk berkelling Blora, aku ingin sekali keliling kota ini” perkataanku yang antusias.  Ayah yang sedang bercengkrama dengan Koran terbitan hari itu sontak terkejut atas pernyataanku barusan. “Keliling Blora?” Tanya ayah sambil meletakkan korannya. “iya ayah, aku ingin sekali” jawabku meyakinkan.

Tak ku sangka ayah sudah merencanakan sedetail ini. Tiba-tiba pagi hari aku dibangunkan ayah untuk melihat jadwal wisata keluarga yang tak pernah kuduga akan terjadi. Ayah menyiapkan segala keperluan untuk menjajaki hamparan harta alam Blora untukku. Tak sabar aku menanti esok hari, baru kali ini ayah dan ummi benar-benar nekad menunda pekerjaan-pekerjaannya hanya untuk menuruti keinginanku, dan baru kali ini juga ayah dan umi benar-benar memaksaku untuk bolos sekolah 3 hari padahal setiap aku sakit masih dipaksakan untuk masuk sekolah. Rasanya seperti mimpi indah.

Bismillahirrahmaanirrahiim .. Blora you’re in my hug now, I wanna dance with you all the time !! Penjelajahanku dimulai, kunikmati angin yang sedikit hangat mengibas juluran hijabku. Sepanjang jalan ayah tak kehabisan cerita tentang Blora, aku jadi semakin tertarik melirik-lirik sisi unik yang ada di Kota tercintaku ini. Umi sepertinya memang sudah berkompromi dengan ayah untuk membuatku semakin demam penasaran. Kunikmati saja buaian-buaian pengetahuan dari kedua HERO’ku ini dengan rasa  KEPO ku.

Perjalanan ini belum pernah aku dapatkan bahkan belum sampai sempat aku pikirkan bisa bertamasya ria special dengan ayah dan ummi. Sungguh ini adalah waktu-waktu emas kebersamaanku bersama keluarga. Diiringi suara ayah yang sedang mendongengiku tentang kota Blora telah sampailah aku di salah satu wilayah Blora, Todanan. Ya.. Tonanan, salah satu kecamatan Blora yang memiliki sejuta keindahan alam. Tepat aku berada di depan Waduk Bentolo yan teramat indah, sejuk bah negeri dongeng, tapi ini nyata. “Ayah, Umi.. udaranya sejuk sekali disini, waduknya indah” kataku sambil memutar- memutarkan badan selayaknya anak kecil yang kesenangan. Suara gemericik air waduk ini mengantarkanku pada keindahan alam yang menajubkan. Tak lama kemudian aku bertemu dengan penduduk asli Todanan yang menerangkan sedikit tentang Waduk ini. “Permisi Bapak, apakah kami boleh menanyakan sesuatu? Ayahku meminta izin pada warga di sekitar sana. “Boleh sekali, saya akan menjawabnya dengan sesuka hati” kata warga tersebut sambil tersenyum lebar. “Bapak, apa di Waduk Bentolo memiliki sejarah yang masyarakat umum belum mengetahuinya?” Ayahku bertanya. “Sebenarnya banyak sekali hal yang kami pun belum tau jawabnya, jadi waduk ini walaupun musim kering tetaplah terdapat air yang bisa dimanfaatkan seluruh warga di Todanan ini untuk mengairi sawahnya, padahal musim panas” Jawabnya meyakinkan. “Oh jadi seperti itu..” ayahku terheran heran. Muncul seribu pertanyaan dalam benakku tentang Todanan ini. Tak lama kemudian aku beranjak ke sebbuah Goa yang ada di Todanan. Goa terawang. Memasuki wilayah wisata goa ini, aku bersama keluarga harus membeli ticket sebesar 10.000 per-orangnya, jumlah biaya yang sangat terjangkau yang tak sebanding dengan keindahan alam yang ada di Goa ini. Awal masuk, pandanganku dimanjakan oleh ribuan pohon-pohon lengkap dengan perangai mereka yang tersebar di seluruh areal Goa ini. Maklum saja, karena goa ini terletak ditengah hutan. Selain itu, aku disambut oleh monyet monyet hutan yang memang sengaja dibiarkan terpelihara secara alami di lingkungan goa ini. Tak lama kemudian, sampailah aku pada pintu masuk Goa yang begitu terbuka lebar dengan sisi indah yang tak bisa aku jelaskan. Stalaktit, stalakmit yang memiliki ukiran ukiran bergelantung di sisi – sisi Goa. Apalagi ada batu yang menurutku mirip dengan singgahsana raja pada salah satu tempat di dalam Goa tersebut, begitu dahsyat. Kenampakan alam yang sungguh Allah lah yang bisa menafsirkannya. Aku hanya terkagum kagum ketika berada di dalam Goa tersebut. Setelah puas, menikmati suguhan alam yang luar biasa membuat hatiku senang tak terkendali, aku melangkahkan kakiku keluar dari bagian dalam Goa yang semakin gelap ini. Setelah itu, kami diantar oleh salah satu tour guide yang ada disana, menuju goa lain yang ada di sana, yaitu Goa Kidang. Tour Guide mengatakan “ Goa ini merupakan situs di Blora, karena bebrapa waktu yang lalu para arkeolog datang kemari untuk melakukan penelitian dalam Goa Kidang ini, yang ternyata ditemukanlah beberapa fosil manusia purba didalamnya, untuk itu Goa ini menjadi Situs”. Aku hanya merasa heran dengan Blora yang sungguh kaya ini.

Perjalanana yang  panjang, menguras rasa ingin tau dan semaunya terbayarkan dengan apa yang ada disini. “Ayah.. aku lapar” celotehku sambil memegang perut yang sudah keroncongan sejak tadi. “Sabar anakku sayang” ayah menenangkan. Kami menuju kendaraan beroda empat yang diparkir ayah di dalam wilayah sekitar Goa, segera menuju warung makan di Todanan.

Perjalanan ini tidak akan terhenti sampai disini, aku bersama keluarga menuju Kec Banjar, untuk mengunjungi sebuah hutan. “Umi, apa kita nggak salah ini, mau ngapain kita ke Hutan mi ?” tanyaku pada ummiku. “Sudahlah, Ummi pernah mengatakan kepadamu bukan, banyak sekali  hal-hal yang belum pernah kamu ketahui sebelumnya” ummiku menjawab. Diary perjalannanku  kutulis dengan banyak tanda Tanya disana. “Misteri apa lagi ini, Blora?” tanyaku dalam hati. Aku yang tertidur pulas selama 2 jam perjalanan di Mobil merasa menyesal karena aku melewatkan banyak tempat-tempat indah sepanjang jalan Todanan-Banjar. Jalan yang jelek ini, tak membuatku terbangun. Sampailah pada kantor kehutanan yang ada di Banjar. “Assalamu’alaikum pak Sarno!” sapa ayahku pada temannya. “Wa’alaikumussalam, wah, saya kedatangan Tamu agung ini” candaan bapak itu. “Kamu ini bisa saja Sar, Jadi kapan kita berangkat? Tanya ayahku sambil menepuk pundak temannya itu. “Sabar mas Bro, apa kalian mau langsung berangkat?” Tanya Bapak itu. “Iya, ayo sekarang!” jawab tegas ayahku. Kami diantarkan kesuatu tempat menggunakan mobil jip milik kantor teman ayah, sembari diperjalanan Bapak itu menjelaskan panjang lebar tentang wilayah hutan yang dimiliki Blora. “Oke, kita sampai !” kata Bapak itu. Aku hanya tersenyum gembira pada Ummiku yang sejak saat tadi merahasiakan kemana kami pergi. Aku dimanjakan dengan pemandangan Hutan yang begitu Asri di Banjar ini, sambil perjalanan aku menemukan ungker yang sebelumnya aku tidak tau bentuk, maupun wujudnya seperti apa. Saat tiba waktunya, didepan pandanganku ada sebuah pohon besar, benar benar besar yang membuatku merasa lagi-lagi heran, kok bisa ya. Aku mengumpulkan keberanianku untuk bertanya kepada Bapak Sarno yang tampangnya seram itu “Pak, ini Pohon jati? Tanyaku polos. Beliau menjawab “iyalah nduk, ini pohon jati. Tepatnya Jati Denok, Jati yang memberikan banyak sumber air ketika musim kemarau tiba, kamu tau itu Nak?” Tanya Bapak itu padaku. Aku hanya tersenyum malu, karena aku memang tidak tau. Kami mengambil foto sekedar untuk memotret kenangan yang tak terlupakan di Alas Banjar. “Aku hari ini senang sekali, sampai tak punya kata-kata lagi untuk mengekspresikan lagi rasa senangku ini” pembicaraan ku pada ummi.

Randublatung.. tempat terakhir yang nantinya akan aku kunjungi bersama Ayah & umi hari ini. Aku sekeluarga menginap di wisma Pak Sarno yang tak jauh dari tempat tinggal masyarakat samin yang populer namanya di nusantara ini. Bersama beliaulah kami goes to Randublatung. Hal yang disayangkan adalah hari mulai petang, Yang bisa kunikmati malam ini, yah… sekedar suara alam yang begitu dekat yang memelukku hingga lelap.

Kicauan burung yang terdengar begitu segar di telingaku membuat ku bangkit terjaga dari mimpi semalam. Ternyata hari sudah menjelang pagi. Segala persiapan kumantapkan untuk bertemu masyarakat maskotnya Kota Blora, masyarakat Samin yang kental dengan budayanya dan kuat prinsipnya. Tak lama kemudian, aku, ayah, umi, dan Pak Sarno berkeliling di kawasan Desa Klapadhuwur, namanya memang sudah tak asing di telingaku, tapi nyatanya benar-benar membuatku terkesima dengan pola tingkah laku dalam keseharian mereka, aku hanyut dalam arus kehidupan mereka. Cara mereka menatap orang yang belum kenal, cara mereka menyapa, memperlakukan orang lain, dan banyak sekali makna dari setiap perilakunya, mereka hidup dengan penuh filosofi yang tak sembarang orang mengerti.

Terimakasih Bapak Sarno yang besar hatinya, beliau telah berjasa memperkenalkan aku dengan orang-orang hebat yang memang benar-benar pantas menjadi maskot sebuah kota kaya harta ini.  Bahkan beliau sampai merelakan untuk meninggalkan pekerjaannya demi kesempatan kali ini.

Belum puas aku bercengkeraman dengan alam Samin, aku harus segera beranjak ke lokasi yang dijadwalkan ayah setelah Randublatung. Kami menuju Cepu. Betapa cucuran keringat orang di daerah  Sambong, Cepu ini tak setara dengan upah yang mereka terima bila setiap harinya harus melintasi duri bebatuan yang amat menyakitkan. Alangkah indah bila tempat ini dibangunkan jalur kereta layang biar mereka tak sakit lagi. Sepertinya ini adalah tugasku ! Aku yang akan mewujudkan angan itu, harus !

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, akhirnya aku sampai di Kilang Minyak, Cepu. Nah kalau di tempat-tempat yang berbau kimia-fisika begini ummi yang beraksi. Serentetan proses pengilangan minyak mulai dari alat-alat yang dipakai, cara menggunakannya, memilih lokasi yang tepat, bahkan sampai cara memonitornya ummi bisa tahu detail. Ummi memang wanita yang hebat, serba bisa, serba tahu, yaa begitulah namanya ibu aku ingin ketika dewasa nanti minimal bisa seperti beliau, hero yang tak tertandingi. Aku hanya bisa bilang “WOW BINGITZZ” Blora tak hanya kental budaya, namun juga pengetahuan yang aku pikir hanya bisa ku saksikan di Kalimantan dan Papua, ternyata juga ada di Blora. Beruntung sekali aku memiliki 2 malaikat yang benar-benar dahsyat ini .

Dari era modern kami bernostalgia ke zaman retro. Loko tour, tempat bersejarah yang ada di Blora dengan seribu kenangan perjuangan bangsa yang dulu kala menjadi saksi bisu penjajahan.

Ayah benar- benar menggelitikku tentang tempat yang disebut pencu itu. Tetapi ayah mengajakku menuju tempat yang disebut Sumber semen terlebih dahulu. Khayalanku, disana terdapat semen yang begitu melimpah, yang langsung bisa dimanfaatkan warga sekitar secara langsung. Ternyata dugaaanku terbalik 180 derajat, disana ada sungai yang begitu jernih airnya yang dimanfaatkan warga sekitar untuk kehidupan mereka. Aku bertanya pada Ayah “Ayah, lalu mengapa namanya Sumber Semen?” Tanyaku polos. Ayahku mengatakan bahwa disini kandungan akan bahan pokok semen sangatlah banyak, yang menjadi bahan utama pembuatan semen. Selain itu, juga terdapat Goa yang ada di atas sungai yang begitu indah terlihat dari hulu sungai, tapi batal mengunjunginya karena medan yang beresiko.

Langkah kaki membawaku menuju tempat yang dari tadi Ayah bicarakan. Pencu. Tanda Tanya besar terbesit di benakku tentang tempat misterius itu. Ayah selalu menyiarkan tentang indahnya tempat yang bernama aneh itu yang tak bisa aku banyangkan keindahannya seperti apa. Akhirnya, sampailah aku di kaki bukit Pencu. Kami harus menuju puncak pencu dengan berjalan kaki. Begitu menyenangkan dengan ditemani pepohonan yang berjajar rapi ditengah jalan yang terjal. Kakiku terasa kram sekali karena medan yang ekstrim, tapi semua itu terbayarkan dengan pesona keindahan alam Blora yang terpampang melalui puncak bukit Pencu. Dihari ini aku berteriak lepas, mengeluh pada Alam, Mengapa Blora yang begitu kaya raya hanya diam tenang, padahal segala potensi disini ada dan juga Mengapa orang Blora masih tertutup matanya dalam lelapnya kesejahteraan yang dirasa cukup . “Ayah, ummi terimakasih atas kesempatan yang sungguh tak terlupakan sepanjang hidupku, aku yakin suatu saat nanti, aku bisa memperbaiki Blora yang diam ini, menggugah singa yang masih tidur untuk mengaum pada dunia, bahwa Blora itu Hebat” dengan raut wajah yang optimis. Ayah ummiku langsung memelukku dan mencium kedua pipiku bersamaan dan satu kata penuh Arti yaitu “Selamat Ulang Tahun” meneteslah air mataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar