HAMPARAN
EMAS, DIBALIK KEDIAMAN BLORA
(Oleh
Nina Indriyanti Ratnasari)
Dalam
bumi ini terdapat berbagai macam karunia pemberian Tuhan yang masing - masing
tersekat dalam ruang tertentu. Walaupun begitu, bisa saja kalau semuanya nampak
pada waktu yang tepat sama, walau sifatnya berlawanan.
Pagi
itu di taman, kunikmati wewangian bunga di awal musim penghujan yang datangnya
sedikit terlambat. Selain bunga-bunga taman, kuhirup pula aroma bunga penghuni
hatiku. Bunga Idaman. Indahnya memang tidak lebih indah dari rekahan bunga
mawar, tapi cukuplah sebagai pesaingnya. Sejurus saja kuarahkan pandanganku
kepadanya dan mengacuhkan bunga-bunga yang masih terlelap di dalam buaian
embun. Memang hari masih terlelap didalam buaian embun. Memang hari masih
terlalu pagi untuk mengucapkan “hello” pada sinar terang pusat tata surya. Yang
bisa disapa saat itu barulah langit yang mulai berkondensasi membentuk gumpalan
– gumpalan yang membumbung tinggi menghias angkasa. Serta ayam – ayam yang begitu rajin menjadi alarm
bagi para majikannya.
Langit
masih tidur, masih tersisa selimut putih bekas bulan bertengger tadi malam.
Taman ini memang serbaguna, selain ada yang olahraga pagi, sekadar
bercengkrama, dan hanya lewat lalu, ada juga yang memanfatkan latar taman
sebagai tempat berniaga. Lalu pagi itu memang merupakan kesengajaan yang sama
sekali tidak ku sengaja. Alun – alun Blora ramai sejak diberlakukannya car free
day setiap hari Minggu.
Usai
membeli sarapan nasi bungkus di pinggiran alun – alun Blora, langkahku terhenti
pada sebuah baliho besar yang berdiri tegap mempresentasikan kekayaan di bumi
Blora. “Umi.. ini gambar apa?” tanyaku pada umi karena terkagum kagum dengan
gambar yang ada di Baliho tersebut. “Ini penggambaran wilayah Blora anakku”
Umiku menjelaskan. Aku masih terheran heran dengan Blora, selama 15 tahun
tinggal di Blora, tak pernah sedikit pun memiliki rasa untuk bisa mengenali
Blora, apalagi bisa mengunjungi tempat – tempat dahsyat yang Blora miliki.
“Umi..ternyata Blora itu sangat kaya sekali dengan Sumber Daya Alam dan
kebudayaanya ya” ucapku yang sampai saat ini masih menekan rasa ingin tahuku.
“Banyak misteri tentang Blora yang belum kamu ketahui nak, banyak sekali
hal-hal menakjubkan yang tentunya belum pernah kamu tahu bahkan tak pernah
sedikit pun terbesit dalam pikiranmu” umiku menjelaskan dengan lembut sembari
berjalan santai pagi itu.
Aku
menjadi penasaran dengan apa yang dimiliki Blora. Paling-paling mayoritas anak
sesuiaku hanya sekedar tau sebagian kecil atau bahkan tidak tau sama sekali tentang
Blora, sedangkan anak manja sepertiku ini lebih suka melancong di kota orang
daripada berfikir untuk berkeliling di kotanya sendiri, Kota Blora, Kota
Barongan.
Sesampainya
di rumah, suara kicauan burung milik ayah terdengar sangat merdu menyapa kami
yang keasyikan mengobrol. “Pagi Pagi Semua, Assalamu’alaikum” Sapa burung Beo
milik ayah. Aku hanya tertawa kecil ketika melihat tingkah burung Beo yang
selalu meramaikan rumahku yang sepi ini. Maklum saja jika seperti itu, kami
hanya keluarga kecil yang terdiri hanya aku, ummi dan ayah. Yang keduanya sibuk
dengan urusannya masing masing hanya sesekali saja ketika libur seperti ini
akau merasakan hangatnya keluarga.
Terlihat
dari ufuk barat matahari mulai tak menampakkan sinarnya, senja terasa begitu
indah pada sore itu, hari ini merupakan hari yang berarti dalam hidupku, hari
ini aku dilahirkan, di ulang tahun yang ke-16 ini, aku mengajukan suatu
permintaan pada ayah. “Ayah, bolehkah aku meminta Sesuatu Yah? pintaku
lirih. “Tentu saja anakku sayang, ayah pasti menurutinya” ayahku menyahut
cepat. “Ayah ajak aku untuk berkelling
Blora, aku ingin sekali keliling kota ini” perkataanku yang antusias. Ayah yang sedang bercengkrama dengan Koran
terbitan hari itu sontak terkejut atas pernyataanku barusan. “Keliling Blora?”
Tanya ayah sambil meletakkan korannya. “iya ayah, aku ingin sekali” jawabku
meyakinkan.
Tak
ku sangka ayah sudah merencanakan sedetail ini. Tiba-tiba pagi hari aku
dibangunkan ayah untuk melihat jadwal wisata keluarga yang tak pernah kuduga
akan terjadi. Ayah menyiapkan segala keperluan untuk menjajaki hamparan harta
alam Blora untukku. Tak sabar aku menanti esok hari, baru kali ini ayah dan ummi
benar-benar nekad menunda pekerjaan-pekerjaannya hanya untuk menuruti
keinginanku, dan baru kali ini juga ayah dan umi benar-benar memaksaku untuk
bolos sekolah 3 hari padahal setiap aku sakit masih dipaksakan untuk masuk
sekolah. Rasanya seperti mimpi indah.
Bismillahirrahmaanirrahiim
.. Blora you’re in my hug now, I wanna dance with you all the time !!
Penjelajahanku dimulai, kunikmati angin yang sedikit hangat mengibas juluran
hijabku. Sepanjang jalan ayah tak kehabisan cerita tentang Blora, aku jadi
semakin tertarik melirik-lirik sisi unik yang ada di Kota tercintaku ini. Umi
sepertinya memang sudah berkompromi dengan ayah untuk membuatku semakin demam
penasaran. Kunikmati saja buaian-buaian pengetahuan dari kedua HERO’ku ini dengan rasa KEPO
ku.
Perjalanan
ini belum pernah aku dapatkan bahkan belum sampai sempat aku pikirkan bisa
bertamasya ria special dengan ayah dan ummi. Sungguh ini adalah waktu-waktu emas
kebersamaanku bersama keluarga. Diiringi suara ayah yang sedang mendongengiku
tentang kota Blora telah sampailah aku di salah satu wilayah Blora, Todanan.
Ya.. Tonanan, salah satu kecamatan Blora yang memiliki sejuta keindahan alam.
Tepat aku berada di depan Waduk Bentolo yan teramat indah, sejuk bah negeri
dongeng, tapi ini nyata. “Ayah, Umi.. udaranya sejuk sekali disini, waduknya
indah” kataku sambil memutar- memutarkan badan selayaknya anak kecil yang
kesenangan. Suara gemericik air waduk ini mengantarkanku pada keindahan alam
yang menajubkan. Tak lama kemudian aku bertemu dengan penduduk asli Todanan
yang menerangkan sedikit tentang Waduk ini. “Permisi Bapak, apakah kami boleh
menanyakan sesuatu? Ayahku meminta izin pada warga di sekitar sana. “Boleh
sekali, saya akan menjawabnya dengan sesuka hati” kata warga tersebut sambil
tersenyum lebar. “Bapak, apa di Waduk Bentolo memiliki sejarah yang masyarakat
umum belum mengetahuinya?” Ayahku bertanya. “Sebenarnya banyak sekali hal yang
kami pun belum tau jawabnya, jadi waduk ini walaupun musim kering tetaplah
terdapat air yang bisa dimanfaatkan seluruh warga di Todanan ini untuk mengairi
sawahnya, padahal musim panas” Jawabnya meyakinkan. “Oh jadi seperti itu..”
ayahku terheran heran. Muncul seribu pertanyaan dalam benakku tentang Todanan
ini. Tak lama kemudian aku beranjak ke sebbuah Goa yang ada di Todanan. Goa
terawang. Memasuki wilayah wisata goa ini, aku bersama keluarga harus membeli
ticket sebesar 10.000 per-orangnya, jumlah biaya yang sangat terjangkau yang
tak sebanding dengan keindahan alam yang ada di Goa ini. Awal masuk,
pandanganku dimanjakan oleh ribuan pohon-pohon lengkap dengan perangai mereka
yang tersebar di seluruh areal Goa ini. Maklum saja, karena goa ini terletak
ditengah hutan. Selain itu, aku disambut oleh monyet monyet hutan yang memang
sengaja dibiarkan terpelihara secara alami di lingkungan goa ini. Tak lama
kemudian, sampailah aku pada pintu masuk Goa yang begitu terbuka lebar dengan
sisi indah yang tak bisa aku jelaskan. Stalaktit, stalakmit yang memiliki
ukiran ukiran bergelantung di sisi – sisi Goa. Apalagi ada batu yang menurutku
mirip dengan singgahsana raja pada salah satu tempat di dalam Goa tersebut,
begitu dahsyat. Kenampakan alam yang sungguh Allah lah yang bisa
menafsirkannya. Aku hanya terkagum kagum ketika berada di dalam Goa tersebut.
Setelah puas, menikmati suguhan alam yang luar biasa membuat hatiku senang tak
terkendali, aku melangkahkan kakiku keluar dari bagian dalam Goa yang semakin
gelap ini. Setelah itu, kami diantar oleh salah satu tour guide yang ada
disana, menuju goa lain yang ada di sana, yaitu Goa Kidang. Tour Guide
mengatakan “ Goa ini merupakan situs di Blora, karena bebrapa waktu yang lalu
para arkeolog datang kemari untuk melakukan penelitian dalam Goa Kidang ini,
yang ternyata ditemukanlah beberapa fosil manusia purba didalamnya, untuk itu
Goa ini menjadi Situs”. Aku hanya merasa heran dengan Blora yang sungguh kaya
ini.
Perjalanana
yang panjang, menguras rasa ingin tau
dan semaunya terbayarkan dengan apa yang ada disini. “Ayah.. aku lapar”
celotehku sambil memegang perut yang sudah keroncongan sejak tadi. “Sabar
anakku sayang” ayah menenangkan. Kami menuju kendaraan beroda empat yang
diparkir ayah di dalam wilayah sekitar Goa, segera menuju warung makan di
Todanan.
Perjalanan
ini tidak akan terhenti sampai disini, aku bersama keluarga menuju Kec Banjar,
untuk mengunjungi sebuah hutan. “Umi, apa kita nggak salah ini, mau ngapain
kita ke Hutan mi ?” tanyaku pada ummiku. “Sudahlah, Ummi pernah mengatakan
kepadamu bukan, banyak sekali hal-hal
yang belum pernah kamu ketahui sebelumnya” ummiku menjawab. Diary perjalannanku kutulis dengan banyak tanda Tanya disana.
“Misteri apa lagi ini, Blora?” tanyaku dalam hati. Aku yang tertidur pulas selama
2 jam perjalanan di Mobil merasa menyesal karena aku melewatkan banyak
tempat-tempat indah sepanjang jalan Todanan-Banjar. Jalan yang jelek ini, tak
membuatku terbangun. Sampailah pada kantor kehutanan yang ada di Banjar.
“Assalamu’alaikum pak Sarno!” sapa ayahku pada temannya. “Wa’alaikumussalam,
wah, saya kedatangan Tamu agung ini” candaan bapak itu. “Kamu ini bisa saja
Sar, Jadi kapan kita berangkat? Tanya ayahku sambil menepuk pundak temannya
itu. “Sabar mas Bro, apa kalian mau langsung berangkat?” Tanya Bapak itu. “Iya,
ayo sekarang!” jawab tegas ayahku. Kami diantarkan kesuatu tempat menggunakan
mobil jip milik kantor teman ayah, sembari diperjalanan Bapak itu menjelaskan
panjang lebar tentang wilayah hutan yang dimiliki Blora. “Oke, kita sampai !” kata
Bapak itu. Aku hanya tersenyum gembira pada Ummiku yang sejak saat tadi
merahasiakan kemana kami pergi. Aku dimanjakan dengan pemandangan Hutan yang
begitu Asri di Banjar ini, sambil perjalanan aku menemukan ungker yang
sebelumnya aku tidak tau bentuk, maupun wujudnya seperti apa. Saat tiba
waktunya, didepan pandanganku ada sebuah pohon besar, benar benar besar yang
membuatku merasa lagi-lagi heran, kok bisa ya. Aku mengumpulkan keberanianku
untuk bertanya kepada Bapak Sarno yang tampangnya seram itu “Pak, ini Pohon
jati? Tanyaku polos. Beliau menjawab “iyalah nduk, ini pohon jati. Tepatnya
Jati Denok, Jati yang memberikan banyak sumber air ketika musim kemarau tiba,
kamu tau itu Nak?” Tanya Bapak itu padaku. Aku hanya tersenyum malu, karena aku
memang tidak tau. Kami mengambil foto sekedar untuk memotret kenangan yang tak
terlupakan di Alas Banjar. “Aku hari ini senang sekali, sampai tak punya
kata-kata lagi untuk mengekspresikan lagi rasa senangku ini” pembicaraan ku
pada ummi.
Randublatung..
tempat terakhir yang nantinya akan aku kunjungi bersama Ayah & umi hari
ini. Aku sekeluarga menginap di wisma Pak Sarno yang tak jauh dari tempat
tinggal masyarakat samin yang populer namanya di nusantara ini. Bersama
beliaulah kami goes to Randublatung.
Hal yang disayangkan adalah hari mulai petang, Yang bisa kunikmati malam ini,
yah… sekedar suara alam yang begitu dekat yang memelukku hingga lelap.
Kicauan
burung yang terdengar begitu segar di telingaku membuat ku bangkit terjaga dari
mimpi semalam. Ternyata hari sudah menjelang pagi. Segala persiapan kumantapkan
untuk bertemu masyarakat maskotnya Kota Blora, masyarakat Samin yang kental
dengan budayanya dan kuat prinsipnya. Tak lama kemudian, aku, ayah, umi, dan
Pak Sarno berkeliling di kawasan Desa Klapadhuwur, namanya memang sudah tak asing
di telingaku, tapi nyatanya benar-benar membuatku terkesima dengan pola tingkah
laku dalam keseharian mereka, aku hanyut dalam arus kehidupan mereka. Cara
mereka menatap orang yang belum kenal, cara mereka menyapa, memperlakukan orang
lain, dan banyak sekali makna dari setiap perilakunya, mereka hidup dengan
penuh filosofi yang tak sembarang orang mengerti.
Terimakasih
Bapak Sarno yang besar hatinya, beliau telah berjasa memperkenalkan aku dengan
orang-orang hebat yang memang benar-benar pantas menjadi maskot sebuah kota
kaya harta ini. Bahkan beliau sampai
merelakan untuk meninggalkan pekerjaannya demi kesempatan kali ini.
Belum
puas aku bercengkeraman dengan alam Samin, aku harus segera beranjak ke lokasi
yang dijadwalkan ayah setelah Randublatung. Kami menuju Cepu. Betapa cucuran
keringat orang di daerah Sambong, Cepu
ini tak setara dengan upah yang mereka terima bila setiap harinya harus melintasi
duri bebatuan yang amat menyakitkan. Alangkah indah bila tempat ini dibangunkan
jalur kereta layang biar mereka tak sakit lagi. Sepertinya ini adalah tugasku !
Aku yang akan mewujudkan angan itu, harus !
Segala
puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, akhirnya aku sampai di
Kilang Minyak, Cepu. Nah kalau di tempat-tempat yang berbau kimia-fisika begini
ummi yang beraksi. Serentetan proses pengilangan minyak mulai dari alat-alat
yang dipakai, cara menggunakannya, memilih lokasi yang tepat, bahkan sampai
cara memonitornya ummi bisa tahu detail. Ummi memang wanita yang hebat, serba
bisa, serba tahu, yaa begitulah namanya ibu aku ingin ketika dewasa nanti
minimal bisa seperti beliau, hero yang
tak tertandingi. Aku hanya bisa bilang “WOW BINGITZZ” Blora tak hanya kental
budaya, namun juga pengetahuan yang aku pikir hanya bisa ku saksikan di
Kalimantan dan Papua, ternyata juga ada di Blora. Beruntung sekali aku memiliki
2 malaikat yang benar-benar dahsyat ini .
Dari
era modern kami bernostalgia ke zaman retro. Loko tour, tempat bersejarah yang
ada di Blora dengan seribu kenangan perjuangan bangsa yang dulu kala menjadi
saksi bisu penjajahan.
Ayah
benar- benar menggelitikku tentang tempat yang disebut pencu itu. Tetapi ayah
mengajakku menuju tempat yang disebut Sumber semen terlebih dahulu. Khayalanku,
disana terdapat semen yang begitu melimpah, yang langsung bisa dimanfaatkan
warga sekitar secara langsung. Ternyata dugaaanku terbalik 180 derajat, disana
ada sungai yang begitu jernih airnya yang dimanfaatkan warga sekitar untuk
kehidupan mereka. Aku bertanya pada Ayah “Ayah, lalu mengapa namanya Sumber
Semen?” Tanyaku polos. Ayahku mengatakan bahwa disini kandungan akan bahan
pokok semen sangatlah banyak, yang menjadi bahan utama pembuatan semen. Selain
itu, juga terdapat Goa yang ada di atas sungai yang begitu indah terlihat dari
hulu sungai, tapi batal mengunjunginya karena medan yang beresiko.
Langkah
kaki membawaku menuju tempat yang dari tadi Ayah bicarakan. Pencu. Tanda Tanya
besar terbesit di benakku tentang tempat misterius itu. Ayah selalu menyiarkan
tentang indahnya tempat yang bernama aneh itu yang tak bisa aku banyangkan
keindahannya seperti apa. Akhirnya, sampailah aku di kaki bukit Pencu. Kami
harus menuju puncak pencu dengan berjalan kaki. Begitu menyenangkan dengan
ditemani pepohonan yang berjajar rapi ditengah jalan yang terjal. Kakiku terasa
kram sekali karena medan yang ekstrim, tapi semua itu terbayarkan dengan pesona
keindahan alam Blora yang terpampang melalui puncak bukit Pencu. Dihari ini aku
berteriak lepas, mengeluh pada Alam, Mengapa Blora yang begitu kaya raya hanya
diam tenang, padahal segala potensi disini ada dan juga Mengapa orang Blora
masih tertutup matanya dalam lelapnya kesejahteraan yang dirasa cukup . “Ayah,
ummi terimakasih atas kesempatan yang sungguh tak terlupakan sepanjang hidupku,
aku yakin suatu saat nanti, aku bisa memperbaiki Blora yang diam ini, menggugah
singa yang masih tidur untuk mengaum pada dunia, bahwa Blora itu Hebat” dengan raut
wajah yang optimis. Ayah ummiku langsung memelukku dan mencium kedua pipiku
bersamaan dan satu kata penuh Arti yaitu “Selamat Ulang Tahun” meneteslah air
mataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar