PERJALANAN HIDUP
SEORANG NINA INDRIYANTI RATNASARI
Assalamu’alaikum
Wr Wb
Bismillahirohmannirohim….
Baiklah,
sebelumnya aku akan memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Nina
Indriyanti Ratnasari, lahir dari sepasang suami istri bernama Eko Maryono dan
Siti Naeroh Watmiatun. Aku bersekolah di salah satu SMA Negeri yang ada di
kotaku yaitu di SMA Negeri 1 Blora. Aku mengambil konsentrasi jurusan di bidang
social, tepatnya di jurusan IPS. Berkaitan dengan cita – citaku yang ingin
menjadi seorang Gubernur mengharuskanku untuk belajar tentang lingkungan di
sekitarku. Baiklah, aku akan memulai menceritakan Kisahku.
Senja
sore itu, tepatnya tanggal 2 mei 1997 silam. Telah lahir seorang gadis
keturunan Jawa tulen di desa Kendayaan Kecamatan Ngawen Blora nan asri itu.
Nina Indriyanti Ratnasari itulah namanya. Tepatnya itu adalah tanggal
kelahiranku ke dunia yang fana ini. Aku tinggal bersama simbah setelah ibu dan
ayahku memutuskan untuk merantau ke Jakarta, karena kehidupan kami saat itu
masih jauh dari kata cukup. Krisis moneter pada saat itu menyebabkan aku harus
terpisah dengan orang tuaku selama kurang lebih 4 tahun lamanya. Semenjak saat
itu hidupku memang harus berjuang, karena kelahiranku saja ada di masa Krisis
Moneter yang mengharuskan orang untuk berjuang kala itu. Setelah aku berumur
4,5 tahun, ibu dan ayahku membawaku untuk tinggal bersama mereka di Jakarta.
Karena aku harus menempuh pendidikan kanak-kanak, aku disekolahkan oleh orang
tuaku di salah satu Taman Kanak-kanak swasta Islam yang bernama TK AL-JIHAD.
Aku menempuh pendidikan dengan penuh semangat waktu itu hingga satu tahun
lamanya. Kala itu orang tuaku masih sebagai “kontraktor” alias orang yang mengontrak beberapa petak rumah di
Jakarta. Ayahku bekerja sebagai kuli bangunan dan ibuku bekerja sebagai buruh
pabrik.
Setahun
telah berlangsung, kemudian aku melanjutkan sekolah dasar di salah satu sekolah
milik pemerintah. SDN Sepanjang Jaya Dua menjadi tempatku menimba ilmu selama kurang
lebih 4 tahun karena aku harus pindah untuk kembali ke Blora. Prestasi akademik
yang aku dapatkan juga tak begitu buruk, aku mendapatkan rangking satu mulai
kelas satu SD sampai dengan caturwulan terakhir aku disana. Semasa aku disana
tak jarang pula aku mengikuti lomba untuk mewakili sekolahku, yaitu lomba Gerak
Jalan Tingkat Kecamatan, Lomba LCC siswa Teladan, Siaga Pintar dll. Kemudian
aku harus melewati masa-masa sulit karena harus meninggalkan orang-orang
terkasih yang ada disana seperti teman-teman kecilku. Kepindahanku ke Blora
tersebut bukan tanpa alasan. Saat itu, keluargaku sedang dalam masalah, Ayahku
bangkrut dan ibuku telah berhenti
bekerja. Kami menanggung hutang yang tak sedikit nilainya ditambah lagi ayahku
ketahuan telah memiliki wanita lain selain ibuku. Hal tersebut menjadi cobaan
yang aku alami bersama ibuku di tengah kota metropolitan yang kejam itu.
Seluruh asset keluarga terjual karena harus membayar hutang pada rentenir. Ibuku menghadapi masalah ini dengan penuh
kesabaran dengan ditemani dukungan aku bersama adik dalam kandungan ibu. Saat
itu ayahku tidak bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya dan
beliau kabur meninggalkan kami. Setelah konflik itu reda, akhirnya ibu dan aku
memutuskan untuk pulang ke Blora karena sudah tak ada harapan lagi kami untuk
bisa bertahan hidup di kota penuh polusi itu.
Pendidikan
yang aku tempuh tidak begitu saja terhenti, aku melanjutkan sekolah di SD
Gedebeg 2 yang ada di desaku. Selama kurang lebih 2 tahun aku manamatkan
pendidikan Sekolah Dasar dengan prestasi yang tak buruk. Aku mendapatkan juara
2 siswa teladan tingkat Kecamatan, juara
2 Gerak Jalan Tingkat Kecamatan dan
mengikuti beberapa kali Lomba Macapat. Setelah itu aku melanjutkan sekolah
menengah pertama di SMP N 2 Ngawen yang jaraknya 8 km dari rumah yang ku tempuh
dengan menggunakan sepeda hadiah dari simbah karena aku mendapat rangking 1
Nilai Ujian tingkat Sekolah.
Masa
pendidikan Sekolah Menengah Pertama yang akan jalani dengan semangat belajar
itu juga menorehkan banyak prestasi. Berkat doa dan dorongan dari keluarga yang
paling aku cintai aku mendapatkan beberapa beasiswa prestasi di SMP ku.
Beasiswa itu dapat membantu ibuku untuk bisa membayar biaya sekolah selama 3
tahun pendidikanku. Terlebih lagi ibuku hanyalah seorang buruh tani yang
bekerja di ladang milik orang lain. Berhubungan dengan hal itu, aku membelikan
sebuah mesin jahit untuk ibu supaya bisa sedikit menopang kehidupan ekonomi
kami. Uangnya aku peroleh dari hasil lebihan uang dari beberapa beasiswa yang
aku dapatkan.
Ketika
aku beranjak kelas 9, aku diberi pertanyaan oleh beberapa guru, tentang
kelanjutan dari pendidikanku. Aku hanya terdiam, karena melihat keadaan ibuku yang
menyandang status janda serasa hal yang mustahil untuk aku bisa melanjutkan
sekolah. Sekolah SMA sepengetahuanku kala itu sangatlah mahal karena akses
transportasinya jauh dan otomatis mahal, belum lagi biaya sekolahnya, membeli
peralatan sekolah dll. Aku menjawabnya tenang dengan jawaban yang mungkin
mengejutkan guruku, aku mengatakan bahwa aku ingin menjadi seorang pembantu
rumah tangga di Jakarta dan aku tidak melanjutkan sekolah ke jenjang
berikutnya. Karena hal tersebut, beberapa guru manawarkan option untuk aku bisa
bersekolah. Dengan beberapa pertimbangan bersama keluarga akhirnya aku
memberanikan diri untuk bisa melanjutkan sekolah ke SMA, dengan pengharapan
beasiswa dari pemerintah layaknya yang diinformasikan oleh Bapak/Ibu guru saat
itu. Aku diterima di SMA Negeri 1 Blora melalui jalur regular. Di sanalah aku
memulai perjuanganku untuk bisa meraih cita-citaku. Aku hanya bisa bersyukur pada
yang Kuasa karena-Nya aku mendapatkan pertolongan yang tak ternilai harganya,
yaitu pendidikan.
Jarak
rumahku dengan SMA kurang lebih 24 km, dan tidak dimungkinkan untuk aku melaju
dari rumah setiap hari. Berkaitan dengan hal itu, kost menjadi salah satu jalan
keluarnya. Saat itu, biaya kost sangatlah mahal menurutku, suapaya lebih hemat
dan menambah ilmu juga, aku memilih untuk menjadi santri di salah satu Pondok
yang ada di Blora. Pondok Al-Banjari karena biayanya lebih murah dan aku bisa
menimba ilmu disana. Hidupku memang harus berjuang salah satunya dengan hidup
bertirakat. Menjadi seorang santri dan siswa SMA Umum tidaklah mudah. Mayoritas
waktuku untuk menjalani kegiatan keseharianku, tak jarang jika aku hanya tidur 4
jam setiap harinya. Bangun mulai jam 3 pagi untuk sholat malam dan antri mandi
setelah itu sholat subuh lalu mengaji menjadi rutinitas hidupku setiap harinya.
Selanjutnya aktivitas sekolah dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore dilanjutkan
kajian Islam bersama ustad yang ada di Pondok menjadi kegiatan keseharianku
yang aku jalani.
Kerasnya
kehidupan mengharuskanku memiliki kekuatan dan tenaga yang ekstra, keluarga
adalah semangatku untuk menjalani segala cobaan hidup yang ada. Pertama kali
menginjak kota Blora, aku hanya seorang diri karena sebelumnya tidak ada teman
yang sedaerah denganku. Supaya mendapatkan teman, aku mengikuti beberapa kegiatan sekolah untuk
menambah relasi. Aku mengikuti seleksi untuk menjadi anggota MPK SMA Negeri 1
Blora, Alhamdullilah diterima. Selain itu aku juga mengikuti beberapa
ekstrakurikuler meliputi Seni Tari, Karawitan dll. Kemudian aku juga mengikuti
Organisasi Kerohanian Islam yang ada di sekolah atau biasa disebut (ROHIS).
Selanjutnya, selain kegiatan organisasi dan kebudayaan aku juga mengikuti OSN
Geografi hingga aku dikirim untuk menjadi wakil sekolah di ajang OSK tingkat
Kabupaten untuk bidang Geografi. Namun, peruntunganku belum baik aku belum bisa
memenangkan lomba tersebut untuk sekolahku. Selanjutnya, ketika beranjak tahun
kedua kepengurusanku dalam organisasi aku
di amanahi oleh teman-temanku untuk menjadi Ketua MPK SMA Negeri 1 Blora yang
menjadi lembaga Legislatif yang ada di SMA 1 Blora.
Pengalaman
yang tak terlupakan adalah ketika hari pertama Masa Orientasi Sekolah
mengharuskanku untuk pulang sekolah di waktu sore. Aku yang berangkat dan
pulang sekolah hanya bergantung dengan bis kota yang lewat di sepanjang jalan
Ngawen-Blora, akupun merasa ketar ketir karena tak akan ada bis yang lewat
melebihi jam 4 sore. Ketika itu jam 5 sore, sudah berakhirnya waktu
berlangsungnya Masa Orientasi Siswa dan waktunya aku pulang. Saat itu, aku
mempercepat langkah kaki ku menuju halte kota yang berada sekitar 2 km dari
sekolah. Saat itu waktu menunjukan setengah 6 sore. Pupuslah harapanku untuk
bisa pulang dengan menggunakan bis antar kota. Jalan keluar terakhir adalah aku
harus meminta tumpangan orang lain untuk bisa pulang yang biasa aku sebut
dengan “mbadak” itulah nama yang aku sering sebut.
Sensasi
dan keberanian untuk menyetop orang dipinggir jalan, supaya bisa numpang adalah
tantangan tersendiri untukku, awalnya aku merasa takut untuk melakukan hal
semacam itu. Tetapi karena “Mbadak” bukan hanya sekali, sehingga aku terbiasa
dengan hal itu. Berharap saja jika ada orang baik yang lewat dan mau untuk
ditumpangi. Hingga hari ini aku percaya jika semua yang aku lakukan, perjuangan
untuk bisa bersekolah dan segala cobaan hidup yang pernah aku alami pasti ada
rencana tersendiri dari-Nya yang menjadi seknario paling indah yang
ditujukan-Nya padaku. Aku hanya bisa berdoa dan selalu bertawakal.
Saat
ini aku sudah dalam tingkat kelas XII SMA. Saatnya untuk menentukan haluan
kemana aku harus pergi.Sekarang aku tak pernah takut untuk melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya, alasannya hanya dengan
pendidikanlah yang bisa merubah kehidupanku bersama keluarga. Yang terpenting
saat ini adalah aku bisa diterima di perguruan tinggi negeri. Berharap bisa
lolos beasiswa Bidik Misi yang diberikan Pemerintah. Semoga perjuanganku untuk
bersekolah tidak terhenti sampai disini. Semoga aku bisa diterima di Perguruan
Tinggi Negeri yang terdapat beasiswa Etosnya, supaya aku bisa mendapat
pengembangan diri dan ilmu yang bisa aku aplikasikan dalam kehidupan ini.
Karena sebaik baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain. Sehingga aku
dan hidupku yang singkat ini bisa kugunakan untuk membantu orang lain.
Terimakasih,
inilah kisahku.
Wassalamu’alaikum
Wr Wb